Arung Palakka dan Riwayat Persekutuan 236 tahun
Tulisan ini tak hendak ikut-ikutan memberi cap “pengkhianat” bagi bangsa Indonesia kepada sosok yang dikenal tak punya rasa takut ini “La Tenri Tatta”, sesuatu yang sejatinya tak layak disematkan mengingat nama Indonesia sendiri belum lahir saat Arung Palakka hidup. Meski Hasanuddin, seteru nya dilabeli gelar Pahlawan Nasional oleh pemerintah Indonesia, tak serta merta kemudian menempatkan Arung Palakka di kutub berbeda.Anak Asuhan Karaeng Pattingalloang
Bone adalah sebuah nama besar. Sejak
abad 14M, nama Bone sudah digaungkan dengan berbagai macam panji
kebesaran. Adalah Matasilompoé [Manurungngé ri Matajang] (1392-1424)
yang tercatat dalam tarikh sebagai yang mula-mula menegakkan kerajaan di
pesisir timur semenanjung Sulawesi Selatan ini. Kerajaan yang berada di
bibir teluk Bone ini mulai melenggang dalam panggung sejarah Indonesia
sejak abad 17 hingga di abad modern kini.
Bone, menyeruak dalam kronik penulisan
sejarah nasional Indonesia sejatinya bermula pada posisi yang kurang
simpatik. Ketika pertamakali menyebut nama Bone, maka ingatan sejarah
kita akan memunculkan sosok Arung Palakka, Raja Bone ke-16 yang bernama
lengkap Arung Palakka La Tenritatta To Ureng To-ri SompaE Petta MalampeE
Gemme’na Daeng Serang To’ Appatunru Paduka Sultan Sa’adduddin Matinroe
ri Bontoala (1672-1696) – sosok penting yang menjadi penyebab jatuhnya
kerajaan Gowa Tallo tahun 1669. Juga tak bisa disangkal bahwa dia dan
balatentara To Angke nya turut andil di bawah arahan VOC menumpas
pemberontakan Minangkabau 1666 dan Trunojoyo Madura 1679.
Arung Palakka, sosok kontroversial ini
berada di kutub berseberangan dengan Sultan Hasanuddin, Sultan Gowa yang
sezaman dengannya dan kemudian ditahbiskan sebagai Pahlawan Nasional.
Karena pilihan politiknya saat itu, dengan tetap menghormati latar
belakang sosio-historisnya, Arung Palakka kelak kemudian lebih sering
dimasukkan dalam deretan sosok antagonis dalam laku sejarah, berada
dalam barisan yang sama dengan Sultan Haji (Banten), Amangkurat II
(Mataram), hingga Sultan Hamid II (Pontianak). Namun terlepas dari
segala kontroversinya, sosok Arung Palakka nyatanya hingga kini menjadi
simbol kehormatan dan perlawanan rakyat Bone terhadap kekuasaan asing
(Gowa-Tallo).
Tulisan ini tak hendak ikut-ikutan
memberi cap “pengkhianat” bagi bangsa Indonesia kepada sosok yang
dikenal tak punya rasa takut ini “La Tenri Tatta”, sesuatu yang
sejatinya tak layak disematkan mengingat nama Indonesia sendiri belum
lahir saat Arung Palakka hidup. Meski Hasanuddin, seteru nya dilabeli
gelar Pahlawan Nasional oleh pemerintah Indonesia, tak serta merta
kemudian menempatkan Arung Palakka di kutub berbeda. Buku Sejarah mesti
bijak dan netral menempatkan sosok ini, kalau tak hendak menyesatkan
generasi masa depan dengan labelisasi yang menyesatkan. Bagi Bone, Arung
Palakka adalah pahlawan. Bagi Gowa Tallo (bukan Indonesia), memang
Arung Palakka adalah sosok penentang yang telah mempermalukan Gowa Tallo
hingga beratus tahun kemudian. Bagi kita, Arung Palakka layak dijadikan
salah satu bahan “pembacaan” bijak mengenai sejarah bangsa bugis
mempertahankan kehormatannya.
Arung Palakka sendiri sejatinya sejak
berumur 11tahun sudah diasuh dalam lingkungan istana Gowa-Tallo. Adalah
Karaeng Pattingalloang, tumabbicara butta (mahapatih) yang
turun langsung mengasuh pangeran Bone ini. Bersama puluhan bangsawan
Bone, kala itu Arung Palakka berada dalam pengawasan Gowa Tallo sebagai
duta/tawanan kerajaan Bone yang baru saja takluk. Arumpone saat itu, La
Maddaremmeng (memerintah 1625-1640) dihukum oleh Gowa-Tallo atas desakan
bangsawan Bone termasuk ibundanya sendiri Datu Pattiro We
Tenrisoloreng, juga karena kerajaan Wajo dan Soppeng merasa terganggu
dengan kebijakan politis-ekspansif La Maddaremmeng di wilayah Bone, Wajo
dan Soppeng. La Maddaremmeng sendiri dipercaya mendesakkan keyakinannya
untuk menghapuskan perbudakan, dan penerapan syariat Islam yang ketat
dengan pelarangan sabung ayam, judi dan minum tuak; sebuah kebijakan
yang saat itu tidak popular dan mengancam kedudukan para bangsawan.
Dalam sebuah serangan kolosal, psaukan Gowa-Tallo yang dipimpin langsung
Patih Karaeng Pattingalloang berhasil membekuk Bone dan menawan La
Maddaremmeng bersama beberapa pengikutnya, termasuk bocah Arung Palakka
dan keluarganya.
Tentang Karaeng Pattingalloang, bapak
asuh Arung Palakka ini terkenal sebagai sosok cerdas penyuka sains yang
menjadi sentra kebijakan Gowa-Tallo yang cemerlang. Di masa mahapatih
yang menguasai setidaknya tujuh bahasa asing ini, Gowa-Tallo tumbuh
menjadi negara maritim yang kuat dan sangat disegani di kawasan
Indonesia bagian timur. Tak kurang dari Sulu, Sumbawa, Timor, Bima, Aru,
Banda, Borneo merasakan pengaruhnya. Semenjak kejatuhan Melaka tahun
1511 oleh Protugis, para saudagar beralih ke pelabuhan Makassar yang
kebetulan memang berada di lintas strategis pelayaran dari dan ke
Maluku, kepulauan penghasil rempah yang pesonanya tercium ke seantero
dunia hingga bangsa Eropa membangkitkan visi imperialismenya.
Bangsa-bangsa asing banyak berdatangan
ke Makassar untuk berniaga, termasuk pedagang Melayu, Inggris, Spanyol,
Arab dan Belanda. Pada suatu ketika, pedagang Belanda berbuat keonaran
di pelabuhan Makassar dan karenanya mereka diusir dan tak diperkenankan
lagi berdagang di Makassar setelah kejadian itu. Sejak itu, dendam mulai
dipelihara oleh pedagang Belanda dan menjadi musabab awal diincarnya
Gowa-Tallo untuk dikuasai VOC kemudian. Di masa itu, Arung Palakka
tumbuh menjadi pangeran cerdas yang mengikuti seksama
kebijakan-kebijakan Karaeng Pattingalloang, yang kebetulan juga sangat
menghargai kecerdasan Karaeng Serang, nama remaja Arung Palakka.
Tahun 1654, Karaeng Pattingalloang
mangkat dan digantikan putranya yang rupanya kurang mewarisi
kebijaksanaan ayahnya, Karaeng Karunrung. Karaeng muda ini terkenal
sangat temperamental dan lebih menyukai aktifitas militer yang
ekspansif. Untuk memperkuat kerajaan Gowa-Tallo, dia memerintahkan
pembangunan kanal raksasa di sekitar benteng-benteng yang dimiliki
kerajaan. Para tawanan kerajaan dikerahkan dalam pembangunan ini, tidak
terkecuali bangsawan-bangsawan Bone termasuk Arung Palakka. Dengan kerja
paksa yang melelahkan dan merendahkan martabat mereka, Arung Palakka
kemudian berpikir untuk mengumpulkan bangsawan-bangsawan Bone yang jadi
pengikutnya untuk melarikan diri dari Makassar. Bersama 4000
pengikutnya, ia menghindari kejaran pasukan Gowa Tallo menuju Buton,
kemudian pada akhirnya berlabuh di Batavia tahun 1664 yang disambut oleh
sahabatnya Corneelis J Speelman yang saat itu baru saja dipecat dari
posisi Gubernur Jendral VOC di Coromandel, Srilanka.
Triumvirat Speelman-Arung Palakka-Jonker
Batavia tahun 1665 menjadi tempat
pertemuan tiga pemuda yang masing-masing memiliki ambisi individual
menegakkan kehormatannya. Laksamana Cornelis Janszoon Speelman (36tahun)
adalah petinggi VOC Coromandel yang dipecat karena perdagangan gelap,
Arung Palakka (30tahun) adalah pangeran Bone yang kabur dari kerajaan
Gowa-Tallo, Kapitan Jonker (40an tahun) adalah raja muda muslim Tahalele
asal Maluku yang terusir dari kampungnya. Ketiganya kemudian diam-diam
membentuk sebuah triumvirate yang bergerak di bawah panji perusahaan
dagang Hindia Timur milik Belanda VOC (Vereenigde Oost-Indische
Compagnie).
Di tangan triumvirate ini, kekuatan
militer menjadi wajah yang lazim digunakan VOC dalam mengamankan
kepentingannya. Riwayat kekerasan di balik politik dagang monopolistic
konon bermuasal dari persekutuan ini. Berbagai ekspedisi militer
dikerahkan di berbagai wilayah kekuasaan VOC, sebutlah misalnya ketika
Arung Palakka dan pasukannya dikerahkan dalam ekspedisi Verspreet yang
berhasil menumpas perlawanan rakyat Minangkabau dan seluruh pantai barat
Sumatera. Ekspedisi militer ini juga berhasil memutus hubungan
Minangkabau dengan Aceh, sekaligus berhasil menguasai sumber tambang
emas Salido yang terkenal. Oleh Arung Palakka bersama Speelman,
kekuasaan VOC diperluas hingga Ulakan di Pariaman yang kemudian
mengangkat Arung Palakka diangkat sebagai Raja Ulakan. Kisah seputar
riuh penguasaan tambang emas Salido ini kemudian diangkat menjadi latar
novel fiksi-sejarah bertajuk Rahasia Meede – Misteri Harta Karun VOC
(Penerbit Hikmah, 2007) yang ditulis oleh ES Ito.
Ekpedisi militer lainnya yang melibatkan
triumvirate ini juga berlangsung di beberapa daerah, terutama yang
terkenal adalah penaklukan Gowa-Tallo dalam Perang Makassar (1667-1669)
dan penumpasan pemberontakan Trunojoyo di Jawa Timur (1679). Tercatat
juga mereka turun dalam medan perang di Palembang dan Jambi (1681),
serta Perang Banten saat memadamkan perlawanan Sultan Abu’lFatah
(1682-1683).
Pencapaian paling penting Arung Palakka
bersama dua kompatriotnya ini tak lain adalah takluknya Gowa-Tallo dalam
Perang Makassar (1667-1669) dan Bone kembali berdaulat setelah sekian
lama menjadi kerajaan bawahan. Tak hanya itu saja, keberhasilan ini
menguatkan dominasi dan hegemoni kekuatan Bone, dan Arung Palakka secara
individual atas seluruh semenanjung Sulawesi bagian selatan, dari
Selayar di selatan, hingga Mandar dan Toraja serta Luwu di utara.
Sebaliknya, kekalahan Gowa-Tallo meninggalkan luka sejarah yang mengoyak
hubungan kedua bangsa ini hingga beratus-ratus tahun kemudian.
Persekutuan tiga serangkai
Speelman-Arung Palakka-Jonker ini nyatanya juga meninggalkan jejak di
buku-buku sejarah, syair-syair Makassar, sinrilik dan cerita-cerita
lokal Bugis Makassar. Bahkan riwayat persekutuan ini terabadikan pada
sebuah nama tempat di utara Jakarta. Konon, pasukan Arung Palakka
menamakan dirinya sebagai To Angke’ (Bahasa Bugis: Orang Yang
Memiliki Kehormatan), sebagai bentuk simbolis gerakan pemberontakan
mereka untuk mengembalikan kehormatan Bone dari kuasa kuasa Gowa-Tallo.
Hingga kini, tanah perdikan yang dihibahkan kepada Pasukan Bone di mulut
teluk Jakarta itu dinamakan Muara Angke, tempat menetapnya orang-orang
Bugis Bone yang menamakan dirinya orang Angke’. Hingga kini, kawasan itu
banyak didiami oleh orang-orang Bugis perantauan. Kapitan Jonker
sendiri mendapat tanah luas di Marunda, yang kelak tanah itu di kenal
sebagai daerah Pejonkeran.
Persekutuan 236 tahun
Telatennya Arung Palakka merawat
hubungan saling menguntungkan antara dirinya dan Speelman kala itu
menjejakkan sebuah kesepahaman untuk saling menjaga kedaulatan bahkan
hingga keduanya terubujur mati di dalam tanah. Kedudukan VOC terkuatkan
dengan dukungan balatentara dari Bone, dan sebagai imbalannya VOC
mendukung penuh kedaulatan Bone atas wilayah dan pengaruhnya dari
gangguan kerajaan-kerajaan lainnya. Bahkan Arung Palakka kemudian
memperlebar dominasi geo-politis individualnya tidak hanya seluas
wilayah Bone yang dia warisi, tapi juga berhasrat mempersatukan Sulawesi
Selatan dalam rengkuhan singgasananya, termasuk Toraja dan Luwu di
utara, yang sejak dulu jauh dari hiruk pikuk kekuasaan politik di
selatan.
Sejatinya, dominasi Bone di Sulawesi
Selatan pada abad 17 dan 18M menimbulkan sederet luka pada
kerajaan-kerajaan sekitarnya. Meski terikat dalam perjanjian kuno Tellumpoccoe antara
tiga kerajaan Bone, Soppeng dan Wajo, namun tak ayal hegemoni Bone yang
berlimpah semenjak Perang Makassar menyebabkan kedudukan kerajaan
lainnya jatuh ke posisi paria, terutama Wajo dan Mandar. Saat Perang
Makassar sendiri, Wajo dam Mandar cenderung memihak ke Gowa-Tallo.
Banyak kronik kerajaan-kerajaan itu menyebutkan banyak bangsawan dan
rakyat Wajo, juga Mandar dan Toraja diperdagangkan sebagai budak oleh
Bone. Saat itu, perdagangan budak memang sempat menjadi komoditas yang
sangat menguntungkan. Belum lagi soal beban pajak yang berat dikenakan
kepada Wajo yang dianggap kalah perang. Hal yang sama berlaku untuk
rakyat Mandar dan Toraja yang juga mengalami kekerasan serupa. Dalam
banyak cerita rakyat disebutkan bahwa orang Bone berhak menampar wajah
orang Wajo kalau menolak menyeberangkan mereka ke seberang Danau Tempe.
Juga bagaimana pemeo yang tertanam di kepala orang Toraja melalui
cerita-cerita rakyat bahwa Bone adalah pembawa petaka bagi negerinya.
Konflik elite itu sesungguhnya kemudian sangat membekas di kalangan
rakyat bawah yang paling merasakan dampak langsung pergumulan politis
kerajaan-kerajaan itu.
Akhir hidup tokoh-tokoh persekutuan ini
berakhir tragis, kecuali Arung Palakka. Speelman wafat di Batavia pada
11 Januari 1684, meninggalkan banyak kasus korupsi dan penyelewengan
kekuasaan setelah dipecat dari posisi Gubernur Jendral VOC. Akhir hidup
Kapitan Jonker mengenaskan. Setelah pelindung utamanya, Speelman wafat,
ia sendiri kemudian dikejar-kejar pasukan VOC. Rumahnya di Marunda
dikepung tahun 1689, dan Jonker yang bernama asli JonckerJouwa de Manipa terbunuh
dalam peristiwa itu. Arung Palakka mangkat pada usia 61 tahun di
Bontoala, tahun 1696. Ia dimakamkan di wilayah kekuasaan Gowa-Tallo yang
diperanginya 30 tahun sebelumnya. Ia meninggal karena penyakit hidung
yang menghinggapinya sejak berenang menyeberangi selat Madura di tahun
1679. Tak ada anak kandung yang didapatnya dari tiga pernikahan dengan
bangsawan Bugis. Penggantinya, La Patau yang memerintah dari tahun
1696-1714 adalah keponakannya yang diangkat sebagai putra mahkota.
Buah dari hubungan mesra antara Arung
Palakka dan Speelman berdampak hingga hingga dua abad setelah keduanya
meninggal. Kerajaan Bone menjadi satu-satunya wilayah di Sulawesi
Selatan, pun mungkin di seantero kepulauan Indonesia, yang masih bebas
merdeka tanpa perlu membayar pajak dan upeti sebagai tanda takluk kepada
pemerintah penjajah Belanda selama masa 236 tahun (1669 – 1905). Inilah
hak khusus Bone yang mungkin tak dimiliki oleh kerajaan lainnya, dan
diperbaharui setiap kali pergantian Gubernur Jendral hingga berakhir
pada pecahnya Perang Bone tahun 1905. Perang yang berlangsung selama
lima bulan di masa pemerintahan Arumpone LaPawawoi Karaeng Sigeri
Matinroe ri Jakarta ini kemudian menamatkan riwayat persekutuan sejati
Bone-Belanda sepanjang nyaris 30 windu ini.
Arung Palakka, sosok kontroversial yang
berada di antara dua sisi sejarah ini memang semacam perekat tiga
generasi. Dengan persekutuan yang dirintis melalui Speelman, ia bisa
menjaga kedaulatan Bone hingga awal abad ke-20. Yang lebih hebat lagi
adalah bahwa Arung Palakka yang sejatinya tak pernah terbersit kronik
persentuhannya dengan agama Islam, kelak ditahbiskan sebagai salah satu
Wali Pitue tanah Bugis. Mungkin meminjam “mitos” yang mirip dengan Wali
Songo, dimasukkannya Arung Palakka sebagai salah satu tokoh wali sufi
kemudian mengekalkan ketokohannya, sekaligus mencoba membersihkan
tangannya yang penuh lumuran darah kekerasan bahkan saudara
seperjuangannya Arung Bakke yang tewas dipenggalnya di Mandar. Di luar
segala kontroversinya, Arung Palakka wajar dikagumi sebagai salah satu
tokoh yang berpengaruh luas dan teramat panjang di lintas masa peradaban
Bugis dan Indonesia.
Sumber: www.daengrusle.com