Tadi habis mengantar anak beli nasi goreng. Biasa, hujan di malam hari, selalu melahirkan perasaan yang tak biasa. Seperti lapar dan keingetan mantan..... Uhukk.
Terjadi obrolan singkat antara anak saya dan abang nasi gorengnya. Dan sampailah pada pucuk pertanyaan, "... Nasi gorengnya pedes?" Anak saya menjawab dengan lugas, ".. Gag bang. SEDANG aja".
Sekilas mungkin gag ada yang aneh dengan jawabannya. Tapi pengalaman saya berhadapan dengan kastemer dibidang jasa yang berkaitan dengan congor, leher dan perut, itu menjadi sebuah jawaban yang memiliki tingkat keambiguan level Dewa. Coba kita telaah dan renungkan. Kalo gag mau, berhenti baca dari sekarang dan silahkan cari sendiri jawaban kenapa Via Vallen berantem sama Ayu Tinting yang bikin Ayu ngambek dan buka toko kue di jalan deket rumah saya. Kembali ke leppp.... Ra (amit-amit). Dalam setiap kegiatan kerja yang kita lakukan, pasti ada yang namanya SOP a.k.a Standar Operasional Prosedur. Menurut Mba Clara di Linkedin, secara garis besar, SOP berarti prosedur atau tahapan tahapan yang harus dilakukan dalam melakukan suatu kegiatan. Berat amat bahasannya. Thats why saya bilang dari awal, kalau gag kuat iman, berhenti baca dan pergi beli kuenya Ayu Tinting. Nah... Tertulis atau tidak, setiap tindakan kita dalam mengerjaan sesuatu, pasti ada tuntunan atau urutannya. Kebayang bukan, kalo situ cebok dulu baru berak. Itu sangat tidak sesuai SOP untuk dunia perberakan yang diajarkan dari nenek moyang kita. Dan apakah itu tertulis penyampaiannya? Tidak. Hal itu juga berlaku buat bisnis makanan atau minuman seperti halnya abang nasi goreng. Abang itu sudah punya standar cara membuat nasi goreng yang tidak pedas dan pedas. Ketika ada kata "sedang", percayalah, akan ada yang berkurang dari nasi goreng itu. Minimal takkan ada lagi rasa cinta.
Saya juga kadang dipaksa untuk menerima keambiguan itu. Alkisah, ketika ada kastemer yang meminta dibuatkan es teh manis dengan notes, ".. Gulanya SEDANG saja. Atau bahasa lain yang sering dilontarkan bahkan dengan tingkat wagu yang menyebalkan.".. Jangan terlalu manis yah ". Wadepak.... Itu seolah mengejek kalau tehnya terlalu manis. Menyangsikan kalo kita punya standar penyajian. Meragukan kemampuan kita meracik minuman macam bartender di klab malam (teh manis juga, toh minuman). Mending kalo kastemernya langganan. Lha... Ini baru pertama kali datang, sudah bilang seperti itu. Lantas buat apa ada gelas ukur di meja kerja kami ibuuu.... Bapaakkk... Para penonntoonn.... Nah, dibagian yang ada kata "sedang", otomatis, pasti ada yang berkurang, dan ada yang ditambahkan dalam minuman yang kelak disajikan. Dan itu mengubah rasa. Jelek-jelek begini, kami juga punya kepuasan bathin tersendiri ketika minuman yang kami sajikan diajakin selfie, atau minimal tidak membuat dahi berkerut. Makanya rasa pun jadi sesuatu yang wah buat kami, yup... Termasuk rasa teh manis.
So, please, bijak sajalah dalam memesan makanan atau minuman. Dalam bisnis ini, tak ada kata "setengah" atau "sedang". Bahkan teh hanya menawarkan hal yang pasti-pasti saja. Es atau panas. Manis atau tawar. Karena lidah orang beda-beda, dan untuk itulah dibuat menu yang sesuai dengan lidah orang secara UMUM. Dan pastinya tidak akan mengandung racun apalagi umpan. Kalaupun ngotot ingin dilayani sesuai dengan rasa yang diinginkan, maka jangan makan minum di pinggir jalan atau di mall. Silahkan coba kuliner di resto macam Dragon Fat atau Signature Restaurant atau Plataran Darmawangsa resto. Namun karena ini masih di Indonesia, sitisen sekalian pasti tahu, Ada rasa ada harga. Jadi, kalau memang ingin terlihat kaya, bukan dengan cerewet minta ini itu. Karena Bill Gates aja dah ketahuan kaya tapi orangnya pendiam bahkan introvert.
Dan tolong, jangan membuat bualan tentang betapa sinonimnya antara Raja dan pembeli. Bahwa pembeli adalah Raja. Karena saya juga haqqul yakin, sampeyan gag ada hubungan keluarga sama Ian Kasela.
Baidewei, apakah anak saya, saya beritahu tentang tulisan ini? Tidak sama sekali. Karena dia sudah cukup pusing menerima kenyataan bahwasanya kegantengan ayahnya hanya memukau Mahmud Abas ( Mamah Muda Anak baru Satu) alih-alih membuat bundanya bangga memiliki suami seperti saya. Selamat menikmati teh manis.
Rabu, 13 Desember 2017
Sedang-sedang saja
Kamis, 07 Desember 2017
Motor Bukan Hanya Tentang Gas dan Rem
"... Ayah, ajarin bawa motor ya..!!??"
Anak gw yg gede dah berapa kali minta itu. Sering malah, tp gag pernah gw kasih.
Gw pelit?????
NO.... Tidak sama sekali. Itu semua karena gw dah paham jalan raya seperti apa. Gw ngabisin 2 jam kurang lebih di jalan bolak balik kerja. Dan gw tau pasti, ketika dia ingin merenggut sesuatu, jalan raya tak mengenal jenis kelamin, umur dan segala atribut kemanusiaanmu.
Thats why anak gw belum gw ijinin bawa motor kayak temen2nya yg lain.
Naik motor bukan hanya perkara kaki dah nyampe apa belum. Bukan hanya tentang mainin gas n pencet rem. Bukan sama sekali.
Ketika naik motor, disitu ada timing, kapan cepat kapan lambat. Kapan nyalip, n kapan anteng di belakang. Pake lampu sein yang bener, jangan kayak emak2 kekinian yg sein kiri tp belok kanan.
Naik motor juga kudu punya empati, merhatiin kebutuhan pengguna jalan lain. Belajar ngalah biar selamat.
Harus bisa sabar ketika yg lain sumbu emosinya pendek.
Bahkan kita juga harus paham, kapan kita mencet klakson dengan "pantas", biar gag kayak orang2 kampung yg mencet2 klakson pdhal lampu stopan masih merah.
Banyak yg kudu dipahamin dan bukan hanya tentang motor. Karena ini masalah mental, dan ini yang lebih penting dari kemampuan kita bawa motor.
Makanya gw absolutely gag mau kayak orang2 tua kekinian yg ngebebasin anaknya yg dibawah umur (banget) buat bawa motor.
2 question,
1. Emang siap kalo ada apa2 ama anak kita dijalan krn kita, orang tua, ngijinin dia bawa motor demi kliatan gaul diantara temen2nya??
2. Iya, kl anak kita doang yg celaka. Kl nyelakain anak orang lain? Siap tanggung jawab moralnya??
Think again wahai para orang tua.